SETIAP memasuki tahun ajaran baru, selalu menyeruak masalah tentang tingginya biaya Pendaftaran Siswa Baru (PSB). Hal tersebut, menurut aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Imamul Abrar, sudah merupakan fenomena umum.
“Sekaligus menjadi bukti, ketidakampuan pemerintah merealisasikan janjinya, akan menerapkan pendidikan gratis. Tingginya PSB, juga memberikan bukti kepada kita, bahwa pendidikan masih menjadi milik orang berduit dan menjadi diskriminasi bagi orang miskin,”kata Imamul yang secara khusus mengirimkan komentarnya ke redaksi Radar Sulteng via Email Kamis kemarin (13/5).
Tak heran, sambung alumni Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Palu, yang kini menuntut ilmu di jurusan Tafsir Hadits, Universitas Negeri Islam (UIN) Makassar ini, jika di Indonesia, masih banyak rakyatnya yang masih terkebelakang dan putus sekolah. Sebab katanya, orientasi pendidikan saat ini, seakan-akan sudah menjadi lembaga profit.
Memang diakui, bahwa untuk mencapai pendidikan yang bermutu, butuh cost atau biaya, namun kata Imamul, di sinilah dibutuhkan intervensi negara atau pemerintah. Katanya, jika sebuah lembaga pendidikan milik negara saja, sudah menjadi lembaga kapitalis, lalu bagaimana dengan lembaga pendidikan swasta yang tidak rutin mendapatkan subsidi dari pemerintah. Baik untuk gaji gurunya, maupun biaya operasional.
“Tetapi saya juga heran, justru sekolah swasta yang sekarang lebih murah ketimbang sekolah negeri. Padahal di negeri apa yang kurang, guru digaji negara, beli mobiler pakai uang negara, sampai beli kue juga ambil uang negara. Mungkin yang kurang nafsunya,”katanya.
Khusus untuk sekolah yang telah mendapatkan lisensi dan pengakuan “bakal” jadi sekolah bertaraf internasional, menurut Imamul, bukan berarti mendapatkan legalitas untuk melakukan pungutan semaunya. Olehnya, menurut pemilik blog http://youngimam.blogspot.com ini, perlu campur tangan pemerintah, dalam menertibkan sekolah-sekolah yang mulai pasang harga saat memasuki PSB.
“Saya dengar, SMP Al-Azhar saja, yang merupakan SMP swasta yang juga sudah mengantongi status RSBI, pendaftarannya tidak sampai mencekik leher orangtua. Bahkan ada keringanan, bisa dicicil. Pemerintah baik legislatif, maupun eksekutif sudah saatnya turun tangan. Buat regulasi yang mengatur soal plafon PSB. Sesuaikan dengan tingkat pendapatan perkapita masyarakat, atau buatlah aturan PSB disesuaikan dengan tingkat Upah Minimum Regional,”katanya.
Tingginya biaya pendidikan yang dipatok oleh sebuah lembaga pendidikan, ternyata dalam penilaian aktivis IPM tingkat paripurna, karena telah mengikuti Taruna Melati Utama dan Pelatihan Fasilitator tingkat madya ini, ternyata tidak berkorelasi dengan mutu lulusan. Buktinya, di sekolah swasta yang minim fasilitas pendidikan, diajar dengan guru honorer yang gajinya jauh lebih sedikit dibandingkan guru PNS dan tanpa tunjangan apa-apa, tingkat kelulusannya persentasenya jauh lebih baik dibandingkan sekolah “elite”.
“Bahkan pada pelulusan baru-baru ini, justru siswa dari SMAN 7 yang berada di Kelurahan Pantoloan yang raih nilai tertinggi. Bukan di sekolah yang ber-AC, lengkap fasilitas multimedianya serta diajar oleh guru yang berkualifikasi S2,”pungkasnya.(radar sulteng)
Kamis, 13 Mei 2010
Langganan:
Postingan (Atom)