Jumat, 10 April 2009

31 Persen Warga Palu Tak Memilih

PALU- Partisipasi masyarakat melaksanakan hak pilihnya pada Pemilu tahun ini tampaknya masih minim. Dari 12.730 pemilih di sejumlah TPS yang dipantau koran ini, yang datang memilih hanya 8.799 orang atau hanya sekitar 69,12 persen. Dengan demikian ada berkisar 31 persen yang tidak memberikan hak suaranya (lihat grafis). Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari tak masuk DPT, tak ada surat panggilan hingga alasan malas karena TPS jauh dari tempat tinggal.
Di TPS 10 Kelurahan Lasoani misalnya, jumlah pemilih yang memberikan hak suaranya hanya sebesar 180-an orang dari 300 pemilih yang memperoleh surat panggilan memilih. Sisanya 120 orang tidak datang melaksanakan hak pilihnya. “Saya tidak tahu kenapa. Yang pasti semua surat panggilan memilih sudah didistribusikan seluruhnya. Kecuali warga yang sudah pindah alamat. Ini pun hanya beberapa lembar saja,” kata Ketua TPS 10 Kelurahan Lasoani, Drs Ahmad Dg Manessa kepada Radar Sulteng, kemarin.
Demikian halnya di TPS IV Kelurahan Lasoani. Di sini dari 265 pemilih yang ada dalam DPT, yang menggunakan hak pilih hanya 171 pemilih. Di TPS III dari 270 pemilih hanya 201 pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Data yang berhasil dihimpun, dari 18 TPS total jumlah surat panggilan yang didistribusikan berjumlah 5.022 surat panggilan. Tapi yang menggunakan hak suaranya hanya 3.397 pemilih, sebanyak 1.625 warga tidak menggunakan hak pilihnya.
Pantauan koran ini di Kelurahan Lasoani, proses pencontrengan berjalan relatif lancar. Dari 18 TPS, pukul 19.00 Wita, penghitungan suara masih tersisa 2 TPS, TPS I dan TPS VIII.
Maspah, anggota Panwas penanggungjawab Kelurahan Lasoani-Poboya menilai, proses pemungutan suara di Kelurahan Lasoani berjalan cukup lancar. Kalau pun ada kendala, masih dalam taraf wajar dan bisa ditolerir. “Proses penghitungan juga berjalan lancar. Saya lihat rata-rata petugas PPS di Lasoani sudah cukup paham dengan tugas-tugasnya,” ujar Maspah di TPS I, Kelurahan Lasoani.
Proses pencontrengan dan penghitungan suara yang sedikit lambat terjadi di Kelurahan Poboya. Bahkan, pihak Panwas mencatat terdapat kesalahan yang cukup serius di kelurahan tersebut. “Tadi di TPS III (Kelurahan Poboya), petugas KPPS-nya tidak menghitung dulu surat suara sebelum dibagikan ke pemilih,” ungkapnya.
Menurut Maspah, meski pihaknya bersama dua orang saksi dari PPP dan Golkar melakukan protes, namum petugas KPPS tidak mengindahkannya dan terus melanjutkan proses pencontrengan. Dia mengaku akan menyeriusi kasus yang terjadi di TPS III, Kelurahan Poboya tersebut. “Kasus ini masuk catatan kami, Panwas Palu Timur,” sebutnya.
Di Kelurahan Tondo, khususnya warga di kompleks perumahan Palu Permai banyak yang tidak memilih karena selain tidak masuk DPT juga tidak mendapat surat panggilan mememilih. “Di sini ada sekitar 75 persen warga perumahan Palu Permai yang terpaksa tidak dapat memilih,” kata Firdaus Jahja, salah satu warga Perumahan Palu Permai Tondo kepada Radar Sulteng, kemarin. Demikian halnya di kompleks perumahan dosen di Kelurahan Tondo, sedikitnya ada sekitar 200-an warga yang memiliki hak pilih tak bisa memilih.
Mantan Humas Kejati Sulteng itu, mengatakan, jangan warga biasa, ketua RT setempat, yakni RT 01/RW 15 Kelurahan Tondo atas nama Ramli juga tidak memilih karena tidak masuk dalam DPT. “Sehari sebelumnya warga di sini ramai-ramai mendatangi kantor kelurahan, tetapi pihak kelurahan tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Firdaus.
Mantan Kajari Parigi Moutong itu mengatakan, kasus banyaknya warga yang tidak bisa memilih itu bisa dibawa ke proses hukum. Tindakan ini menurut dia, melanggar UU No 10 tentang Pemilu pasal 260. Dalam pasal itu katanya, disebutkan barang siapa yang menghalang-halangi warga melaksanakan hak pilihnya diancam kurungan selama 12 bulan.
Partisipasi warga dalam memberikan hak suaranya pada Pemilu legislatif kemarin di Kelurahan Tatura Selatan terbilang minim. Dari 20 TPS yang tersebar di kelurahan itu, tiap TPS rata-rata 100 orang lebih enggan datang mencontreng. Bahkan ada yang separoh dari jumlah DPT memilih untuk Golput.
Minimnya pemilih juga di terjadi di TPS 05 Kelurahan Birobuli Selatan. Dari 371 pemilih yang tercantum dalam DPT, hanya 236 yang datang ke TPS untuk memilih. Sehingga ada 135 pemilih lainnya tidak menggunakan hak suaranya.
KPPS TPS 05 Kelurahan Birobuli Selatan, Fahri Kamal, mengaku pihaknya menduga diakibatkan oleh beberapa hal. Seperti banyaknya pemilih dalam DPT pindah alamat, ada pemilih yang ternyata sudah meninggal dan anggota TNI.
"Banyak yang pindah alamat, karena di daerah kami ini banyak kos. Ada dua pemilih yang terdaftar di DPT, ternyata sudah meninggal dan satu pemilih adalah anggota TNI," ujar Fahri.
Dirinya juga mengungkapkan DPT yang memuat daftar warga pemilih di RT 05 RW 01 serta di RT 02 dan RT 03 RW 02 itu, juga tidak luput dari kesalahan. Fahri mengungkapkan ada nama pemilih yang tercantum ganda hingga tiga kali, padahal orang yang sama. Ada juga nama pemilih yang terdaftar di lebih dari satu TPS. "Menurut kami ini diakibatkan human error saat menginput data pemilih," ujar Fahri.
Dirinya lantas mengaku pihaknya telah menyebarkan sebagian besar formulir C4 (surat undangan) ke pemilih yang tercantum di DPT. Karena itu, dia menolak jika pemilih tidak datang ke TPS, diakibatkan oleh tidak mendapatkan formulir C4.
Di TPS 10 Kelurahan Donggala Kodi, dari 224 DPT yang terdaftar, hanya 174 pemilih yang menggunakan hak suaranya. Padahal menurut Ketua PPS TPS 10, Herman, seluruh surat pemberitahuan pemilihan telah diberikan ke warga yang namanya terdaftar dalam DPT. “Semua surat pemeritahuan sudah kita distribusikan. Memang ada sekitar 9 surat yang tidak terdisitribusi. Karena dua dari surat panggilan pemilihan itu adalah anak-anak. Sedangkan enam lainnya tidak pernah ada di RT kami,” tandas Herman yang juga ketua RT setempat.
Tak jauh berbeda dengan di Donggala Kodi, TPS 4 Kelurahan Lere tercatat 116 pemilih yang tidak memberikan suaranya di pesta demokrasi lima tahunan itu. Artinya dari 300 pemilih yang masuk DPT, hanya 184 warga yang menggunakan hal pilihnya. “Memang surat pemberitahuan yang terdisitribusi itu hanya sekitar 260 lebih. Karena sebagian besar surat pemberitahuan yang tidak terdistribusi itu orangnya tidak ada,” tandas Fikri Lasarika, ketua PPS TPS 04 Kelurahan Lere.
Sementara di TPS 03 Kelurahan Kabonena, dari 303 nama yang terinventarisir dalam DPT, hanya sekitar 254 pemilih yang menggunakan haknya. “Mungkin persoalannya sama dengan (TPS) yang lain, kebanyakan nama yang tercantum itu mungkin sudah pindah,” terang Zubair, ketua KPPS 03 Kelurahan Kabonena yang ditemui tadi malam.
Bahkan menurut dia, masih banyak warga yang tinggal di sekitar TPS yang tidak tercatat dalam DPT. Menurut dia, saat proses pemilihan berlangsung, TPS-nya sempat didatangi sejumlah warga yang hendak memilih. Tapi karena tidak terdaftar, mereka terpaksa ditolak. “Ya, jadinya tidak memilih. Kita kan hanya pelaksana, yang menentukan (kebijakan) bukan kita,” kuncinya.
Di TPS 24, Kelurahan Birobuli Utara Kecamatan Palu Selatan dari 185 warga yang masuk dalam DPT, 60 orang di antaranya tak menggunakan hak suaranya alias Golput.
“Jumlah warga yang masuk dalam DPT di TPS 24 sebanyak 185, namun yang tidak mencontreng 60 orang,” kata Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) TPS 24, Sulman Simin.
Di tempat yang sama ketua RT 3 Kelurahan Birobuli Utara, Sampredi, menambahkan dari 300 lebih jumlah warga di RT 3 yang diserahkan ke KPU, namun yang dimasukkan dalam DPT hanya 185.
“Data DPT tahun lalu memang sudah saya serahkan ke KPU, namun KPU memutuskan ternyata 185 orang saja yang terdata dalam Daftar Pemilihan Tetap (DPT),” ujar Sampredi.
GOLPUT, KARENA TPS JAUH
Salah satu penyebab banyaknya warga yang tidak mau memilih adalah karena lokasi TPS yang jauh dari tempat mereka tinggal. Anggota Panwaslu Kelurahan Besusu Timur, Tony Mustafim, SE mengatakan berdasarkan pengakuan warga di Besusu Tengah alasan yang paling mendominasi sehingga mereka memilih Golput karena jarak TPS yang ditunjuk sesuai surat panggilan untuk memilih jauh dari rumah mereka atau terpisah dari TPS tetangga.
“Banyak warga yang tidak memilih karena malas mau ke TPS karena jauh dari TPS yang dekat dari rumah mereka,” ujarnya.
Menurut Tony, hampir setiap TPS jumlah pemilih tidak mencapai setengah dari DPT yang ada. Salah satu penyebabnya karena banyak warga yang malas memilih karena terpisah-pisah TPS dengan tetangga. Padahal pada Pemilu 2004 nama mereka masih terdaftar di TPS yang dekat dari rumah mereka. “Jadi memang jumlah warga yang tidak memilih cukup banyak bahkan rata-rata tidak setengah dari jumlah DPT,” jelasnya.
Selain karena faktor jarak TPS yang jauh dari domisili warga penyebab lain warga tidak memilih adalah karena terlalu lama menunggu panggilan mencontreng di TPS. Banyak warga yang sudah ke TPS tapi karena lama dipanggil untuk mencontreng mereka pulang untuk makan tapi sudah tidak kembali lagi. “Karena mungkin lama menunggu dan sudah kelaparan warga yang tadinya sudah ke TPS terpaksa pulang dan tidak kembali lagi,” katanya.
Dikatakannya, warga yang hendak memilih juga banyak yang kebingungan melakukan pemilihan sehingga dalam bilik suara setiap orang menggunakan waktu pencontrengan membutuhkan waktu rata-rata 2 menit sampai 3 menit.
PROTES KPPS
Pemilu di Buol diwarnai protes dari sejumlah warga yang tidak bisa memilih. Mereka mengajukan protes kepada ketua KPPS di berbagai TPS yang ada di daerah itu. Warga yang protes tersebut lantaran tidak bisa memilih disebabkan karena tidak masuk dalam DPT dan tidak memiliki surat panggilan untuk memilih.
“Nama saya tidak ada di papan pengumuman DPT yang dipampang di TPS. Padahal saya sudah mengelilingi seluruh wilayah Kelurahan Kali. Tapi tetap saja tidak ada nama saya, tetapi justru yang ada nama anak saya,” kata Amin Marhum SAg, kepada Radar Sulteng, kemarin (9/4).
Amin Marhum akhirnya pulang dengan perasaan kecewa karena tidak bisa berpartisipasi dalam Pemilu 2009. Apa yang dialami Amin Marhum ternyata terjadi juga pada warga yang lain, tidak bisa ikut memilih karena tidak masuk dalam DPT dan tidak memiliki surat panggilan memilih. “Kami terpaksa hanya berdiam diri di rumah pak. Mau apalagi sudah begini. Hak demokrasi kami melayang,” tambah Syahril Samad, seorang tokoh masyarakat Buol.
Pantauan Radar Sulteng di sejumlah TPS yang ada di empat kelurahan di Tolitoli, banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya. Ini dibuktikan dengan banyaknya kertas suara yang tidak terpakai hingga usai waktu pencontrengan.
Berdasarkan keterangan beberapa ketua PPS yang ditemui, rata-rata mengaku sedikitnya menyisahkan sekitar ratusan kertas suara yang tidak terpakai dari total kertas suara yang disediakan untuk pemilih yang terdaftar dalam DPT.
“Di TPS saya hingga usai waktu pencontrengan bisa bapak lihat sendiri sisanya, jika nanti dijumlahkan kira-kira jumlahnya sekitar dua ratusan lembar kertas yang tersisah, itu sudah termasuk kertas cadangan,” ujar Hi Abu Sahman ketua PPS pada TPS 34 terminal Bumi Harapan Kelurahan Baru.
SURAT SUARA NYASAR
Proses pencontrengan surat suara daftar calon lagislatif (Caleg) di TPS 12 Kelurahan Boyaoge, Kecamatan Palu Barat, kemarin (9/4) sempat terhenti. Penyebabnya, karena kertas suara berisi daftar Caleg yang akan dicontreng, ternyata bukan daftar caleg Daerah Pemilihan (Dapil) Kota Palu, melainkan Caleg dari Kabupaten Morowali. Surat suara berisi daftar Caleg asal Morowali itu jumlahnya mencapai 12 lembar.
Saat ditemukan, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) TPS 12 Kelurahan Boyaoge, langsung mengamankan belasan surat suara nyasar itu. Tim relawan pemantau pemilu, juga langsung melaporkan temuan itu ke Panwaslu Provinsi Sulteng dan Panwaslu Kota Palu untuk ditindaklanjuti.
"Dari catatan saya ada 12 kertas suara yang dari Morowali. Tadi saya sudah laporkan ke Panwaslu," ujar salah seorang anggota tim relawan pemantau Pemilu TPS 12 Boyaoge, Albar.
Albar, mengaku seluruh kertas suara berisi daftar Caleg asal Morowali itu telah diamankan, untuk dijadikan bukti yang akan diserahkan kepada Panwaslu. "Semua kertas suaranya sudah disimpan, itu nanti akan diserahkan kepada Panwaslu," ungkapnya.
Ketua Panwaslu Kota Palu Ratna Dewi Petalolo, yang dikonfirmasi mengaku telah menerima laporan tersebut. Ratna menegaskan hal tersebut merupakan kelalaian dari KPU. Kata dia, kasus sangat merugikan pemilih di Palu. Untuk itu, Panwaslu bakal memberikan teguran kepada KPU Kota Palu atas kejadian itu. "Kami akan memberikan teguran kepada KPU atas kejadian ini," tegasnya.
Kasus yang sama juga terjadi Kecamatan Bungku Tengah. Proses pemilihan di TPS 1 dan 2 yang masing-masing berjumlah 417 pemilih, sempat terhenti selama dua jam gara-gara ada surat suara nyasar. Di kedua TPS itu terdapat surat suara untuk Dapil 3 (Petasia) masuk di wilayah Dapil 1 (Bungku Tengah). Persoalan itu langsung ditangani KPU setempat sehingga pemilu dilanjutkan.
Kasus surat suara nyasar ini berakibat pada kurangnya surat suara di sejumlah TPS di Morowali. Namun kekurangan itu langsung dapat diatasi. Ketua KPU Morowali Harus SH yang dikonfirmasi mengaku, kasus surat suara nyasar itu bukan disengaja tapi karena human error. (Radar Sulteng)

Tak Ada TPS Khusus, Pasien Rumah Sakit “Dipaksa” Golput

PALU – Kesadaran warga Kota Palu untuk menyalurkan aspirasi politiknya cukup tinggi. Sayangnya, keinginan untuk menyalurkan haknya sebagai warga negara yang baik itu, dikalahkan oleh sistem. Semrawutnya Daftar Pemilih Tetap (DPT), sehingga menyebabkan banyak warga yang sebenarnya memiliki hak pilih terpaksa urung untuk mencontreng, karena namanya tak masuk dalam DPT.
Selain itu, karena tidak adanya fasilitas TPS khusus di rumah sakit, sehingga pasien di rumah sakit, juga terpaksa urung menyalurkan hak politiknya dan “dipaksa” untuk Golput. Padahal di rumah sakit, banyak terdapat pasien yang sudah memiliki surat panggilan.
Siti Zulaiha, pasien di paviliun Kenanga RSUD Undata, mengaku kecewa karena tak bisa menyalurkan aspirasi politiknya. Pasien dengan diagnosa gangguan ginjal itu, mengaku sejak malam sebelumnya sudah menyiapkan surat panggilan dan sejumlah identitas lainnya. Sayang, hingga pukul 13.00 Kamis kemarin, Siti Zulaiha tidak didatangi petugas TPS khusus yang biasanya ada pada Pemilu empat tahun lalu atau saat Pilpres yang lalu.
“Amburadul Pemilu kali ini. Bagaimana pasien yang seperti kami ini mau dipaksa ke TPS. Saya jangankan berjalan, duduk saja susah. Lalu dengan keterbatasan yang di luar jangkauan kita ini, lantas kita dibatasi hak-hak politik kita. Mana itu KPU, apa saja kerjanya,”gerutunya.
Kondisi yang sama, dialami Muh Irsadi. Pasien Lakalantas yang mendiami paviliun Teratai RSUD Undata itu, juga urung menyalurkan aspirasi politiknya, karena tak adanya fasilitas TPS khusus yang disediakan di Rumah Sakit. Padahal bersama Irsadi, ada ibu serta adiknya yang semuanya mengaku sudah memiliki surat panggilan.
“Daripada harus ke TPS, lebih baik jaga orang sakit. Jadi fatwa haram Golput oleh MUI itu, jadi hambar dengan sendirinya, karena negara tak mampu menyediakan fasilitas bagi rakyatnya untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Kalau memang fatwa MUI itu benar adanya, lalu siapa yang harus tanggung dosanya, apakah kita atau negara dan KPU,”tandas Abdul Humul Faiz, adik Irsadi
Sementara itu, tak masuknya nama dalam DPT, membuat beberapa warga kecewa. Dewi Sulastri, pelajar salah satu sekolah menengah atas, mengaku sebenarnya Pemilu kali ini, merupakan pengalaman politik pertamanya. Sayang, pelajar yang sedang menghadapi Unas itu, tak bisa menyalurkan hak-hak politiknya, karena dalam urutan DPT, tak terdapat nama Dewi Sulastri.
“Padahal kalau saya bisa ikut Pemilu, akan menjadi pengalaman politik pertama saya sebagai warga negara yang baik. Tetapi apa mau dikata, nama saya tak ada dalam DPT,”kata warga Kelurahan Tondo tersebut.
Apa yang dialami Dewi, tampaknya menjadi gambaran umum banyaknya warga yang sebenarnya sudah memiliki hak pilih, namun tak bisa menyalurkan aspirasi politiknya karena tidak masuk dalam DPT.
Namun demikian, antusias warga untuk menyalurkan hak politiknya cukup tinggi. Kamis pagi kemarin, kondisi Kota Palu sejak pukul 07.00 hingga pukul 11.00 tampak lengang. Warga tampak berbondong-bondong mendatangi TPS untuk menyalurkan hak politiknya. Walaupun ada di antara warga, yang terpaksa menempuh perjalanan kurang lebih 2 km dari kediamannya menuju TPS.
“Kami warga BTN Pesona Teluk Palu heran, kenapa kami mendapat jatah memilih di TPS 8 Kelurahan Tondo yang jaraknya hampir 2 km dari kompleks perumahan. Sewaktu kami ke TPS, ada dua TPS yang kami lalui,”tandas Sugiaty.
Walaupun berjarak 2 km, namun Sugiaty tetap berupaya untuk menyalurkan hak politiknya. Walaupun tidak berpikir negatif di balik amburadulnya penempatan pemilih dengan TPS, namun Sugiaty berharap agar kondisi yang dialaminya kemarin tidak lagi terulang.
“Teman saya yang di Lasoani dan beberapa tempat lainnya, juga mengeluh. Di depan rumahnya ada TPS, tetapi namanya keluar di TPS yang ada di RT lain dan jaraknya sekitar 3 km dari rumahnya,”kata mahasiswi English Department FKIP Untad.
Muzna, warga Jalan Siranindi, juga mengaku mendapatkan “jatah” memilih di TPS yang jauh dari kediamannya. Padahal kata Muzna, di sebelah dapurnya terdapat TPS.
“Kalau begini, kita jadi malas memilih. Saya lihat dulu, kalau ada yang jaga kios saya memilih. Tetapi kalau tidak ada, tidak usah memilih. Untuk apa ada TPS di sebelah dapur, tetapi kita dikasih di TPS yang jauh. Ini jangan-jangan ada permainan, supaya warga banyak yang tidak memilih,”tandas ibu satu anak ini. (Rआदर sulteng)