Selasa, 26 Januari 2010

Berdiskusi dengan Batin Soal Kematian

SEPULANG dari kantor pukul 22.00 (maklum kerja di penerbitan sehingga harus pulang malam), langsung tancap gas ke peraduan. Ingin cepat tidur, agar cepat bangun salat dan cukup istirahat untuk bisa jogging sepulang dari masjid.
Di tengah upaya mencari kantuk, saksama aku memandang tiga wajah yang sangat aku sayangi. My Heart, serta dua Jundullah-ku. Di saat kepala telah menyatu dengan bantal, tiba-tiba terngiang kembali pertanyaan si sulung yang bertanya tentang kematian.
“Abi kalau orang mati itu ditanam?” “Abi kalau orang mati itu tidak bisa lagi makan?”
Pertanyaan yang cukup sederhana dan karena yang bertanya anak umur tiga tahunan, maka aku menjawab sekenanya saja. “Kalau orang mati itu memang ditanam.” “Orang mati itu tidak bisa lagi makan karena sudah ditanam.”. Syukurlah jawaban yang kuberikan tadi, hanya disambut dengan kalimat “Ooooooooh.” Setelah itu, tak ada lagi komentar balik dari si sulungku tadi.
Dalam keremangan malam dan senyapnya suasana (rumahku berada jauh dari kawasan jalan raya, jadi pukul 22.00 sudah sepi), aku teringat dengan peristiwa yang pasti kita semua akan mengalaminya. MATI.
Apa yang terjadi setelah mati? Apa yang akan berlaku bagi diri kita setelah mati? Bagaimana masa depan kita setelah mati? Semua masih menjadi misteri.
Dengan desahan napas panjang, ku coba menggeliat di hamparan kasur tipis yang kujadikan alas tidur. Tiba-tiba batin tersentak. Sebuah tanya terucap, akankah saat di kuburan nanti, aku masih sempat menggeliat, mengingat tempat tidurku nanti di liang lahat hanya selebar dan sepanjang tubuhku.
Tak sengaja, kaki kananku terkena genangan air yang berasal dari tumpahan sisa minum si kecil yang juga selalu ingin ikut kebiasan kakaknya yang kadang minta minum saat akan tidur. Secara refleks, aku menarik kaki yang terkena air tersebut. Tiba-tiba kembali terbesit pertanyaan. Apakah nanti ketika sudah di kubur, aku masih memiliki kuasa untuk menghindar dari genangan air yang bakal membanjiri liang lahatku.
Belum lagi teringat dengan hardikan dan pertanyaan dari sepasang Malaikat Allah, Munkar dan Nakir alaihissalam. Mampukah diriku menjawab deretan panjang pertanyaan yang mereka berikan, sejak mulai dari hilangnya hentakan kaki para pengantar di kuburan? Mampukah aku menjawab mempertanggungjawabkan semua amalanku? Akankah aku terlepas dari siksa kubur?
Anas meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, ketika seseorang selesai dikuburkan setelah kematiannya dan keluarga serta teman-temannya telah meninggalkan kuburnya, ia bisa mendengar suara langkah-langkah kaki yang pergi meninggalkannya. Dua malaikat mendatangi si mayit di dalam kuburnya. Kedua malaikat itu membuatnya terduduk dan menanyainya dengan pertanyaan berikut ini:
Apakah yang engkau ketahui perihal Muhammad (SAW)?” Orang yang sungguh-sunguh beriman menjawab, “Saya bersaksi bahwa beliau adalah hamba Allah SWT yang taat dan Rasul (utusan)-Nya yang benar.” Para malaikat itu kemudian berkata, “Jika kamu tidak beriman, tempatmu pastilah di dalam neraka. Sekarang, lihatlah olehmu neraka itu. Dan Allah SWT telah menggantinya dengan surga firdaus dan lihatlah juga olehmu surga itu sekarang.”
Orang-orang munafik dan orang-orang kafir pun akan diberi pertanyaan yang sama, “Apakah yang kamu ketahui tentang Muhammad SAW?” Mereka menjawab, “Tidak ada satupun yang aku ketahui, dulu aku hanya mengatakan apa yang dikatakan orang-orang.” Para malaikat akan mengatakan kepadanya, “Tidakkah kamu pernah mencoba untuk mengenalnya atau pernahkah kamu ikuti orang-orang yang beriman?” Dan para malaikatpun memukulnya dengan batang besi panas. Orang kafir itupun menangis kesakitan dengan sekencang-kencangnya, semua yang berada di alam raya, kecuali jin dan manusia, akan mendengar ratap-tangisnya. (Bukhari dan Muslim)
Tiba-tiba aku merinding, karena mengingat sebuah hadist dari Asma bin Abu Bakar RA meriwayatkan, bahwa pada suatu hari Nabi Muhammad SAW menasehati umat dan menjelaskan perihal siksa kubur. Ketika beliau menjelaskan hal ini, semua orang beriman mulai menangis dengan kerasnya, sehingga terciptalah suasana seperti berbaurnya beraneka-ragam ratap-tangis. (Bukhari).
Manusia seperti sahabat yang telah mendapat jaminan bakal terlepas dari siksa neraka, ternyata masih mengucurkan air mata, jika diingatkan tentang kematian. Bagaimana dengan diriku, yang seperti masih terlalu sombong jika menganggap diri seperti sebutir pasir di padang pasir, ketika membandingkan antara kualitas kepercayaanku (malu aku menganggapnya sebagai iman), dengan kadar keimanan para sahabat yang telah teruji baik dalam keadaan senang maupun susah.
Dalam keadaan sayup-sayup, tiba-tiba kecupan hangat di keningku mengagetkanku yang ternyata dari Ummu kedua Jundullahku. “Bangun sayang, sudah hampir subuh. Tidak salat malam?”
Kulihat dia telah lengkap dengan mukenanya, serba putih. Ini kembali mengingatkanku, bahwa seperti itulah kelak kita di ujung kehidupan fana ini. Glamornya pakaian yang kita kenakan suatu saat akan diganti dengan selembar kafan yang tak lebih dari beberapa meter. Wewangin super mahal nan trendi yang selalu menempel di pakaian kita, suatu saat pasti akan terganti dengan wangian kapur barus.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS Ali-Imran 185)

25 Januari 2010
Palu Kota Teluk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar