BARU-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan sebuah fatwa yang बन्यक mengundang komentar, yakni fatwa tentang haramnya sikap Golput. Dalam tulisan ini, penulis bukan untuk mengomentari lahirnya fatwa MUI tersebut, serta ekses dari fatwa tersebut. Penulis hanya ingin, sedikit memberikan beberapa catatan, apakah benar sikap Golput itu akan membawa perubahan, atau pengaruh apa yang akan terjadi jika kita memilih sikap politik Golput.Golput, dalam tatanan bahasa Indonesia, sebenarnya belum merupakan kata yang dibakukan. Istilah itu, sebenarnya merujuk pada istilah pada golongan yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam politik praktis. Istilah Golput, sebenarnya lahir di era orde baru. Ketika itu, baru ada tiga partisipan dalam Pemilu. Dua Parpol, yakni PPP dengan ciri khas hijau, kemudian PDI dengan ciri khas merah, serta Golongan Karya –Golkar- (ketika itu tak mau dikatakan sebagai Parpol) dengan ciri khas kuning. Rakyat yang kecewa dengan pressure Orde Baru yang juga ingin mencampuri urusan politik rakyatnya selama hampir setengah abad, kemudian memilih untuk menentukan sikap politiknya sendiri, yakni memilih untuk menjadi Golput atau Golongan Putih (Golput). Sebuah istilah yang merujuk pada sikap politik yang tidak memilih, tiga warna politik yang ada ketika itu, Hijau, Merah dan Kuning.Saat ini, sikap Golput beberapa kalangan didasari pada beberapa alasan. Ada yang memilih Golput karena merasa kecewa dengan dinamika politik saat ini, lalu kemudian menawarkan solusi lain. Adapula yang memilih Golput, dengan pertimbangan syariat. Bahwa katanya, memilih Parpol adalah bagian dari demokrasi, sementara demokrasi bukanlah produk Islam, tetapi produk negara sekuler.Sekali lagi, penulis tak ingin terlalu jauh mencampuri masalah prinsip, mereka-mereka yang punya pandangan untuk memilih Golput, tentu memiliki alasan yang menurut mereka jauh lebih benar dan patut untuk diikuti.Sebuah tanda (baca ayat), yang pernah difirmankan oleh Allah Azza Wajalla, ke Rasulullah 1430 abad yang silam, bahwasanya sebuah keadaan tak akan pernah berubah, kecuali dengan ikhtiar (usaha) yang kita lakukan sendiri. Dari bunyi ayat ini, penulis kembali ingin memberikan pertanyaan, adakah orientasi perubahan yang ditawarkan dari sikap Golput?Untuk menjawabnya, kembali penulis ingin mengajak untuk melihat sebuah ilustrasi sederhana dalam membaca realitas (politik) saat ini. Kita tak setuju dengan pemerintah atau pemegang kekuasaan saat ini, tetapi di satu kita sebenarnya justru mendukung atau membiarkan keadaan tersebut berlangsung dengan sikap Golput kita. Kita tak sepakat, jika ternyata partai (sebagai bagian dari dinamika Indonesia yang mustahil dinafikan) yang berkuasa, adalah partai yang kita tahu seperti apa bentuk dan bagaimana perilaku para politisinya. Sikap kecewa itu, kemudian diaplikasikan dengan tidak menyalurkan hak-hak politiknya alias Golput.Sebuah ilustrasi yang ingin penulis berikan, diandaikan ada sebuah wilayah yang untuk mudahnya kita beri nama negeri antah berantah. Di negeri itu, terdapat 100 ribu orang yang memiliki hak untuk memilih. Di negeri itu pula, terdapat 20 partai dengan berbagai slogan dan janji-janji politiknya. Dari sekian partai itu, terdapat beberapa di antaranya yang hanya bertujuan untuk mengejar kepentingan pragmatis dan hanya memanfaatkan suara rakyat untuk kepentingan diri dan kelompokya. Namun ada juga beberapa partai yang memang benar-benar ikhlas untuk berjuang demi rakyat yang berkeadilan dan sejahtera. Perilaku politisinya, juga bersih, peduli dan professional.Di negeri antah berantah itu, akan diperebutkan 20 kursi parlemen. Kelak mereka-mereka yang di parlemen itu, akan menentukan seperti apa bentuk pembangunan, bagaimana orientasi program yang bermanfaat bagi rakyat di negeri antah berantah. Berarti dengan persentase tersebut, maka berarti satu kursi di parlemen, dihargai dengan 5 ribu suara. Sebab 5 ribu dikalikan dengan 20 kursi di parlemen, maka akan didapatkan angka 100 ribu atau sesuai dengan jumlah warga negeri antah berantah yang memiliki hak untuk memilih.Sayangnya, dari 100 ribu penduduk negeri antah berantah, banyak yang kecewa dengan dinamika politik selama ini, atau paling tidak memiliki alasan lain sehingga tak menggunakan hak politiknya, atau Golput. Dari catatan badan pekerja pemilihan umum, diperkirakan ada sekitar 25 ribu atau seperempat jumlah pemilih di negeri antah berantah yang Golput. Lalu apakah jumlah kursi di parlemen akan dikurangi seiring dengan adanya penduduk yang Golput. Ternyata tidak, kenapa? Sebab dengan sistem politik yang ada di negeri antah berantah, bahwa Golput tidak akan memengaruhi jumlah kursi di parlemen. Lalu bagaimana dengan sistematika persentase jumlah kursi yang dikorelasikan dengan jumlah penduduk yang wajib memilih. Sesuai dengan alternative yang ada, maka sistem penentuan siapa yang layak untuk dapatkan kursi di parlemen, diterapkan rangking perolehan suara terbanyak. Partai mana yang banyak mendapat dukungan, maka akan mendapatkan kursi terbanyak di parlemen. Walaupun tidak lagi sesuai dengan persentase awal, yakni 5 ribu suara untuk satu kursi, tetapi karena mendapatkan dukungan terbanyak, maka partai tersebut mendapatkan satu kursi, walaupun suara yang dikumpulkan, mungkin hanya berkisar seribuan.Kita misalkan lagi dengan ilustrasi yang lebih sederhana. Di negeri antah berantah itu, ada Partai Pacul, Partai Garpu, Partai Sendok, Partai Gelas, Partai Piring dan partai lain yang kurang populer. Dari deretan partai itu, Partai Pacul dianggap partai yang politisinya, yang hanya bisanya memberi janji, gunakan kesempatan dalam kekuasaan untuk kekayaan dirinya sendiri, serta politisinya dikenal sebagai pezinah. Selain Partai Pacul, rakyat mengenal bahwa Partai Garpu sebagai partai yang politisinya adalah mereka yang ikhlas dalam memperjuangkan hak-hak rakyat negeri antah berantah.Di dalam Pemilu, mestinya satu kursi di parlemen dihargai dengan 5 ribu suara. Tetapi karena banyak yang Golput, maka persentase perbandingan turun. Jika ada sekitar 25 ribu yang Golput, maka hanya ada 75 ribu suara yang diperebutkan. Berarti satu kursi di parlemen, hanya dihargai 3.750 suara. Angka itu diperoleh dari 75 ribu suara dibagi 20 kursi. Artinya, siapa Caleg yang mendapatkan suara 3.750 suara, maka berhak dapat satu kursi di parlemen. Hasil pemilu, ternyata tidak ada satupun Caleg dari 20 partai di negeri antah berantah itu yang berhasil mendapatkan angka 3.750 suara. Lalu apakah tidak ada yang berhak duduk di parlemen? Tentu tidak, sebab 20 kursi di parlemen itu harus diisi. Solusinya, maka diterapkanlah sistem rangking suara terbanyak. Artinya, akan dirangking partai mana yang paling besar jumlah suaranya, maka dialah yang berhak mendapatkan kursi terbanyak di parlemen.Ternyata, Partai Pacul dari hasil rangking, mendapatkan suara terbanyak. Walaupun suaranya hanya berkisar sekitar 5 ribu suara, namun karena 19 partai lainnya hanya memperoleh dan saling membagi sisa dukungan, yakni 70 ribu dibagi 19, sehingga setiap partai selain partai Pacul, hanya memperoleh dukungan suara sekitar 3,6 ribu, maka Partai Pacul mendapatkan kursi mayoritas di parlemen. Lalu bagaimana dengan Partai Garpu, sayang, walaupun orientasi politiknya demi kemakmuran rakyat, tetapi karena kurang mendapat dukungan (apalagi 25 ribu suara, yang merupakan orang-orang yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai khalifah), memilih Golput dan tak mendukung Partai Garpu, maka lagi-lagi kekuasaan jatuh ke tangan orang-orang yang kelak berbuat zalim kepada masyarakat. Bisa dibayangkan, jika Partai Pacul yang hanya mendapatkan dukungan 5 ribu, tetapi karena didukung dengan sistem politik yang berlaku, kemudian menjadi penguasa. Lalu bagaimana jika Partai Garpu yang memperoleh dukungan 28 ribu lebih suara (25 ribu Golput ditambah 3 ribu suara tak Golput), maka tentu akan menjadi penguasa, karena mendapat dukungan mayoritas.Apakah Golput bukan merupakan sikap politik. Masih butuh penjelasan yang lebih panjang lebar dan perlu didukung dengan nash atau teori ilmu politik lagi. Tetapi dari analogi sederhana penulis, bahwanya Golput merupakan sikap politik. Secara kasarnya, sikap Golput justru mendukung Partai Pacul menjadi penguasa di negeri antah berantah. Walaupun bentuk dukungannya tidak secara langsung. Lagipula, kan masih berlaku peribahasa, bahwa DIAM ITU BERARTI SETUJU.
(* Abu Khalid adalah mantan ketua Ikatan Remaja Muhammadiyah kini berubah menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Tanggapan opini ini dikirim ke email: imalawwab@yahoo.co.id)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sikap golput dalam pemilu akibatnya bagi pembangunan indonesia
BalasHapus